ONTOLOGI
ONTOLOGI
A.
Pengertian
Ontologi
merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling
kuno. Awal pemikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan dibidang
ontologi. Dalam ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita
menerangkan hakikat dari segala yang ada. Pertama kali orang dihadapkan pada
persoalan materi (kebenaran), dan kedua pada kenyataan yang berupa rohani
(kejiwaan). Kedua realitas ini, yaitu Iahir dan batin, merupakan
hakikatkeilmuan manusia. Manusia memiliki dua sumber ilmu, yaitu (1) ilmu Iahir
yang kasat mata dan bersifat observable, tangible, dan (2) ilmu batin,
metafisik yang tidak kasat mata.
Pembicaraan
tentang hakikat sangatlah luas, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada-Hakikat
yaitu realitas, artinya kenyataan yang sebenarnya. Pembahasan ontologi sebagai
dasar ilmu berusaha untuk menjawab pertanyaan "apa itu ada", yang
menurut Aristoteles merupakan the first
philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi dari fenomena di jagat raya
ini, apa dan mengapa ada.
Ontologi
menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani, yaitu ontos = being atau ada, dan logos
= ilmu. Jadi, ontologi adalah the theory
of beingquq being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Atau bisa
juga disebut sebagai ilmu tentang yang ada atau keberadaan itu sendiri.
Maksudnya, satu pemikiran filsafat selalu diandaikan berasal dari kenyataan
tertentu yang bersifat ada atau yang sejauh bisa diadakan oleh kegiatan
manusia. Tegasnya, bila suatu pemikiran tidak memiliki keberadaan (landasan
ontologi) ataupun tidak mungkin pula untuk diadakan, maka pikiran itu hanya
berupa khayalan, dorongan perasaan subjektif, atau kesesatan berpikir yang
dapat ditolak atau disangkal kebenarannya.
Menurut Suriasumantri (2005) Ontologi membahas tentang apa yang
ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada” Telaah
ontologis akan pengkajian mengenai teori tentang menjawab
pertanyaan-pertanyaan:
a. Apakah
obyek ilmu yang akan ditelaah
b. Bagaimana
wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan
c. Bagaimana
hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti
berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan
Dalam
perkembangannya, Christian Wolf (1679-1754) dalam (Hamied, Komar, &
Kurniawan, 2018)
membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan khusus. Metafisika
umum yaitu istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, ontologi yaitu cabang
ilmu filsafat yang membahas tentang prinsip yang paling dasar atau paling dalam
dari segala sesuatu yang ada. Adapun metafisika khusus masth terbagi menjai
kosmologi, psikologi dan teologi. Ontologi cenderung dekat dengan metafisika,
yaitu ilmu tentang keberadaan dibalik yang ada.
Dua
pengertian ini merambah ke dunia hakikat suatu ilmu. Ontologi membahas masalah
ada dan tiada. ilmu itu ada, tentu ada asal mulanya. Ilmu
itu ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Dengan berpikir ontologi,
manusia akan memahami tentang eksistensi suatu ilmu. Menurut Heidegger
eksistensi membicarakan masalah ada, misalnya manusia ada. Manusia ada ketika
dia sadar diri, pada saat memahami tentang "aku" Ada semacam ini
menjadi wilayah garapan ontologi keilmuan.
B.
Istilah-Istilah
Sebagaimana
telah dikatakan filsafat dapat dipandang sebagai sejinis bahasa yang bertugas
sebagai alat yang membahas segala sesuatu. Sesuai dengan pendapat ini, maka
usaha pertama untuk memahami
ontology ialah menyusun daftar dan memberikan keterangan
mengenai sejumlah istilah dasar yang digunakan di dalamnya.
Amsal
(2007) dalam (Hamied et al., 2018) dalam bukunya menyebutkan
istilah-istilah terpenting yang terdapat dalam bidang ontologi yaitu yang-ada
(being), kenyataan (reality), eksistensi (existence), perubahan (change),
tunggal (one), jamak (many). Pertama-tama akan dibahas adalah isi atau makna
yang terkandung oleh istilah-istilah tersebut, termasuk di dalamnya, sejumlah pernyatan yang
menggunakan istilah-istilah tadi.
Ontologi
merupakan studi tentang realitas yang tertinggi.Adapun kajian ontologi meliputi
yang ada (being) dan yang nyata (realitas) maupun esensi dan eksistensi. Hal ini
karena realitas Yang nyata mentpakan bagian Yang ada. Berikut ini akan di
jelaskan ruang lingkup kajian ontologi antara Iain:
a. Yang ada (being)
Dalam
kehidupan sehari-hari, apa Yang kita alami bukanlah hal Yang kebetulan atau
terjadi dengan sendirinya. Hal itu merupakan mekanisme hukum alam. Oleh karena
itu, tidak ada yang ada yang mengadakan dalam satu ada. Dengan kata Iain, tidak
ada pencipta and penciptaan karena sebab akibat menyatu dalam ada yang satu dan
berada dalam ruang dan waktu Yang sama. Pada
prinsipnya ada itu ada dua hal yang dikaji yaitu mengenai subtansi dan
kejadian. Apa subtansi yang terkandung di dalam sesuatu dan serta sebaakbiat
dari suatu kejadian yang terjadi di dunia ini.
b. Yang nyata (realitas)
Masalah
realitas yang dapat dipahami dengan kenyataan bahwa nyata dan ada mempunyai
pengertian serupa. Kata ada kita pandang sebagai keragaman yang spesifik dan
prosedur ontologi yang pertama digunakan untuk membedakan apa yang sebenarnya
nyata atau ada eksistensinya dari apa yang hanya nampaknya saja seperti indah
atau tidaknya sesuatu, baik atau buruknya sesuatu, benar atau salahnya sesuatu
dan satu atau bermacam-macamnya sesuatu. Parmenides (seorang filsuf) percaya
bahwa realitas adalah suatu lingkaran sempurna yang tidak bergerak, tidak
berubah, dan tidak terbagi.
c. Esensi dan Eksistensi
Dalam
setiap Yang ada, baik yang nyata maupun tidak nyata selalu ada dua Sisi di
dalamnya, yaitu Sisi esensi dan eksistensi bagi yang gaib, Sisi Yang Nampak
adalah eksistensinya, sedangkan bagi yang ada yang kongkrit, Sisi yang Nampak
bisa kedua-duanya yaitu esensi dan eksistensi. Dalam kehidupan manusia yang
terpenting adalah eksistensinya seperti kayu akan lebih bermakna ketika sebuah
kayu mempunyai eksistensinya sebagai meja, kursi. Eksistensi berada pada
hubungan yang kongkrit baik Yang vertikal maupun horizontal dan bersifat aktual
dan eksistensinya berorientasi pada masa kini dan masa depan, sedangkan esensi
adalah kemasa laluan.
C.
Objek Dalam Ontologi
1. Apa saja obyek dalam ontologi
Beberapa
ahii mengelompokkan obyek atau lapangan ilmu pengetahuan ke dalam ilmu
pengetahuan alam dan manusia. Beberapa cabang ilmu pengetahuan memiliki obyek
material Yang sama
yaitu manusia atau tingkah laku manusia. Terdapat beberapa segi atau aspek dari tingkah laku
manusia seperti aspek-aspek biologis, psikologis, sosiologis, dan antropologis.
Terdapat juga aspek-aspek yang berkaitan
dengan kehidupan manusia sebagai insan politik, sebagai insan ekonomi, sebagai
insan hükum atau sebagai insan sejarah. Namun, unluk memahami konsep manusia,
dapat juga dilakukan pendekatan-pendekatan melalui ilmu-ilmu seperti psikologi,
sosiologi dan antropologi.
Obyek
dapat dibedakan atas dua hal adalah sebagai berikut:
a. Obyek material (mateml Object), yaitu
obyek atau lapangan jika dilihat secara keseluruhan
b. Obyek formal (formal Object), yaitu
obyek atau lapangan jika dipandang menurut suatu aspek atau sudut tertentu
saja. Seperfi, manusia sakit "untuk kedokteran”
Hal
yang membedakan antar ilmu pengetahuan adalah obyek material dari pengetahuan
tersebut. Jika obyek materialnya ternyata sama, maka hal yang membedakan adalah
obyek formal atau sudut pandang yang digunakan (Hamied et al., 2018).
2. Hakekat obyek telaah ilmu
Telaah
filsafat yang membahas tentang hal nyata adalah metafisika yang berasal dari
kata "meta” yang artinya sesudah, di belakang atau melampaui dan fisika
yang berarfi nyata. Maka dari itu, metafisika berkaitan dengan hal-hal di
belakang dunia nyata. Metafisika akan membahas hal-hal yang di luar penangkapan
pancaindera.
3. Daya tangkap manusia terhadap obyek
ilmu
Daya
tangkap manusia terhadap kenyataan selalu berdasar pada asumsi. Sebelum memilih
asumsİ yang akan digunakan, perlu dilakukan pengajuan pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan:
a. hukum-hukum yang mengatur kejadian
alam yang diasumsikan terdiri dari empat alternative yaitu free
will, deterministic, probabilistic
dan
nasib.
b. Cakupan yang dipelajari ilmu, apakah
berkaitan dengan seluruh umat manusia, hanya individü tertentu atau
hanya sebagian beşar dari manusia.
c. hukum yang dikehendaki ilmu yang
memiliki alternative yaitu mutlak atatı probabilistik. Sifat mutlak tidak
dikehendaki oleh ümu karena tidak realistis dan ilmu bertugas untuk
mengompromikan antara pilihan mutlak dengan individual, Dan ilmu mempelajari
hokum yang berkenaan dengan sebagian beşar manusia.
d. Pengertian probabilitas limu hanya
memberikan peluang-peluang kepastian dari kejadian peristiwa. Oleh karena itu,
sifat ilmu mencakup:
1. Relatif
atau tidak mutlak
2. Memberi
pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan
3. Memberi
perspektif penyedia jaminan
4. Memberi
perspektif perhitungan untung rugi
5. Memberi
perspektif risiko
6. Membantu
manusia secara pragmatis
e. Asumsi yang digunakan ilmu
1. Asumsi
merupakan landasan terciptanya ilmu yang sistematik, konsisten dan analitik
sesuai kenyataan.
2. Asumsi
berperan sebagai titik tolak pengembangan model, strategi, dan praktik suatu
disiplin ilmu.
3. Perbedaan
pandangan terhadap obyek yang nyata karena terdapat perbedaan skala observasi.
f. Spesialisasi disiplin ilmu memberikan
pembatasam pada asumsi yang spesialis pula untuk pengetahuan yang analitis/mono
disiplin, tapi tidak untuk pengetahuan yang multidisiplin.
g. Aspek dalam pengambilan asumsi melipuü
relevansi dengan tujuan, teori dan operasionalisasi yang disebut juga asumsi
telaah keilmuan, hasil kesimpulan dari kenyataan apa adanya yang disebut telaah
moral dan keharusan untuk dieksplisitkan (Komar, 2012) dalam (Hamied et al., 2018).
D.
Aliran Dalam Ontologi
Menurut
Noeng (2001) dalam (Hamied et al., 2018)
bahwasanya ada beberapa aliran dalam ontologi. Aliran-aliran tersebut adalah
Monisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme.
a. Monisme
Paham
ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itü hanyalah satu
saja, tidak mungkin dua, baik yang asal berupa materi ataupun rohani. Konsep
monisme seringkali dihubungkan dengan panteisme dan konsep Tuhan yang kekal.
Paham ini kemudian terbagi kedalam dua aliran :
1.
Materialisme
Aliran
materialisme ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan
rohani. Aliran ini dipelopori oleh 3 Bapak filsafat, yaitu:
·
Thales (624-546 SM)
Dia berpendapat bahwa
sumber asal adalah air karena pentingnya bagi kehidupan. Aliran ini sering juga
disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan
satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi/alam, sedangkan jiwa / ruh tidak
berdiri sendiri.
·
Anaximander (585-525 SM)
Dia berpendapat bahwa
unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari
segala kehidupan. Dari segi dimensinya paham ini sering dikaitkan dengan teori
Atomisme. Menurutnya semua materi tersusun dari sejumlah bahan yang disebut
unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap tak dapat dirusakkan. Bagian-bagian yang
terkecil dari itulah yang dinamakan atom-atom.
·
Demokritos (460-370 SIM)
Dia berpendapat bahwa
hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat di hitung
dan amat halus. Atom-atom yang merupkan asal kejadian alam.
·
Heraclitus
Dia berpendapat bahwa
segala sesuatu berasal dari api, dalam artian ssegala sesuatu sesalu
berubah-ubah.
(Hamied et al., 2018).
2. Idealisme
Idealisme
diambil dari kata "ideď' yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini
menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak.
Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. la berada
dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan
bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menepu. Dalam perkembangannya,
aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori
idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep
universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah
berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat
sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
Beberapa posisi
lainnya sukar untuk disatukan dengan kategori di atas, termasuk:
·
Fungsionalisme, seperti materialisme,
percaya bahwa mental dapat direduksi menjadi fisik, tapi juga percaya bahwa
semua aspek kritis dari pikiran juga bisa direduksi menjadi suatu lapisan
netral tingkatan "fungsional", Sehingga keadaan mental tidak perlu
muncul dari neuron.
Ini merupakan pendirian populer dari ilmu kognitif dan kecerdasan buatan.
- Eliminativisme
yang percaya bahwa pembicaraan mengenai mental akhirnya akan terbukti
tidak ilmiah dan ditinggalkan sepenuhnya. seperti halnya kita tidak Iagi
mengikuti Yunani kuno yang mengatakan bahwa segala sesuatu terbuat dari
bumi, air, udara, atau api, masyarakat masa depan tidak akan Iagi
membicarakan "kepercayaann, "gairah", dan keadaan mental
lainnya. Suatu subkategori dari eliminativisme adalah behaviorisme
radikal, pandangan yang dianut B. F. Skinner.
- Monisme anomali, posisi yang diusulkan oleh Donald Davidson pada tahun 1970an sebagai suatu cara untuk menyelesaikan permasalahan jiwa-raga. Bisa juga dianggap sebagai materialisme atau monisme netral. Davidson percaya bahwa hanya ada persoalan fisik, tetapi objek dan kejadian mental adalah benar-benar ada dan identik dengan (beberapa) persoalan materi. Tetapi materialisme mempertahankan beberapa prioritas, seperti (1) Semua persoalan mental adalah bersifat fisik, tetapi tidak semua hal fisik adalah mental, dan (2) (seperti dinyatakan John Haugeland) Begitu kita menyingkirkan semua atom, tidak ada Iagi yang tersisa. Monisme ini secara luas dianggap sebagai kemajuan dibanding teori identitas sebelumnya mengenai jiwa dan raga, karenatidakmengharuskan bahwa seseorang harus bisa menyediakan metode aktual untuk mendeskripsikan ulang jenis entitas mental dalam istilah materi murni. Tentu saja tidak ada metode demikian.
·
Monisme refleksif, suatu posisi yang
dikembangkan oleh Max Velmans pada tahun 2000, sebagai suatu metode untuk
mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan agenda penganut dualisme dan
reduksionisme mengenai kesadaran, dengan melihat fenomena fisik sebagaimana
dipersepsi sebagai bagian dari isi kesadaran.
·
Monisme dialektika, posisi yang percaya
bahwa realitas adalah kesatuan dari keseluruhan, tetapi menegaskan bahwa
keseluruhan ini perlu mengekspresikan diri secara dualistik. Untuk penganut
monisme dialektika, kesatuan penting adalah dua kutub saling melengkapi yang,
walaupun bertentangan dengan realitas mengenai pengalaman dan persepsi, tetapi
penting dalam masalah transenden.
(Hamied et al., 2018).
E. Manusia Dalam Menjelaskan Fenomena Alam
Komar
(2012) dalam (Hamied et al., 2018)
menyebutkan beberapa tahapan bagaimana manusia menafsirkan fenomena alam:
1. Animisme
Animisme
adalah sebuah kepercayaan yang meyakini bahwa setiap benda di bumi
ini seperti gua, pohon atau batu memiliki ruh yang harus dihormati
agar ruh tersebut tidak mengganggu manusia dan justru membantu mereka.
2. Naturalisme
Naturalism
menafsirkan bahwa benda memiliki kekuatan
3. Democritus
Tafsiran
dari Democritus berkaitan dengan atom dan kehampaan dan berlandaskan pada
gejala yang ditangkap indera.
4. Mekanistik
Berkaitan
dengan kimia dan fisika, berlandaskan pemikiran bahwa benda terdiri dari zat-zat.
5. Vitalistik
Tafsairan
dari vitalistik adalah keunikan dan landasannya adalah pikiran dan kesadaran.
6. Monistik
Tafsirannya
adalah energi dengan landasan elektrokimia.
7. Dualistik
Memiliki
tafsiran berupa pikiran berlandaskan pernikiran bahwa pengalaman dan
pengindraan bersifat mental.
8. Empirik
Memiliki
tafsiran pikiran dengan alasan pikiran mengangkap dan menyimpan pengalaman
indra.
9. Idealistik
Tafsiran
berupa persepsi dengan landasan konsep bahwa setiap hal hanya berada dalam
pikiran.
(Hamied et al., 2018).
F. Kesimpulan
Ontologi merupakan salah satu paham dalam
filsafat yang membicarakan tentang hakikat tentang segala sesuatu.
Dalam ontologi ditemukan
pandangan-pandangan pokok pemikiran, yaitu monoisme, dualisme, pluralisme,
nihilisme, dan agnostisisme. Monoisme adalah paham yang menganggap bahwa
hakikat asalnya sesuatu itu hanyalah satu. Asal sesuatu itu bisa berupa materi
(air, udara, api) maupun ruhani (spirit, ruh). Dualisme adalah aliran yang
berpendapat bahwa asal benda terdiri dari dua hakikat yaitu materi dan ruhani.
Pluralisme adalah paham yang mengatakan bahwa segala hal merupakan kenyataan.
Nihilisme adalah paham yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif.
Dan agnostisisme adalah paharn yang mengingkari terhadap kemampuan manusia
dalam mengetahui hakikat benda.
Dalam hal ini, ontologi meliputi hakikat
kebenaran dan kenyataan Yang sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak
terlepas dari perspektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang “Jada” itu.
Adapun monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme dengan
berbagai nuansanya, merupakan paham ontologi yang pada akhirnya menentukan
pendapat dan kenyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana yang
'Vada” itu (what's being) (Hamied et al., 2018).
DAFTAR
PUSTAKA
Hamied,
F. A., Komar, O., & Kurniawan, E. (2018). Filsafat Ilmu Rujukan Bagi Para (Calon) Cendekiawan. Bandung: UPI
Press.
Suriasumantri. (2005). Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Bumi Aksara.
Komentar
Posting Komentar